Kehangatan yang memberi arti lebih.
Tidak seperti yang saya dapat kemarin kemarin.
Ah, rasanya saya mulai lelah juga dengan segala duka yang saya selimuti sendiri.
Saya ingin mengakhiri elegi inl endiri saya yang terlalu terlena untuk sekian lamar Mudah-mudahan saia, Seluruh doa saya betulkah irfan mau menemani langkah sen pinta.
Seiring dengan pelukan Irfan yang memberi rasa lain yang damai dan n vaman Sudah lama saya merhatiin kami sayang kamu Ver!" bisiknya.
Lama-lama saya jadi stress karena d Ruang gerak saya yang biasanya bebas terasa sesak dan menyebalkan.
Saya na biasa.
Saya muak dengan perhatian yang tal jelas juntrungnya itu.
Apa sih maksudnya dia? Dia pikir saya akan terharu dengan kepeduliannya itu? Nonsens! Sudah lama saya mati rasa dengan segala bentuk perhatian.
Setelah… setelah orang tua saya melupakan dan membuang saya.
Mencoret saya dari daftar nama anggota keluarganya Membiarkan saya mencari kehidupan sendiri setelah kehidupan yang ia tawarkan saya tolak mentah-mentah.
Ya, saya menolak perjodohan konyol itu dan kabur untuk menggapai obsesi saya.
Itu sudah lama sekali terjadi.
Sudah empat tahun yang lalu, saat saya baru keluar dari SMU.
Padahal kehidupan Papa mapan tapi hanya karena urusan bisnis ia tega menugumpankan saya demi untuk melancarkan jalinan bisnis dengan kolegenya.
Bentuk egoisme orang tua yang merasa berhak atas kehidupan anaknya rikuh sendiri.
Menjalankannya suka-suka aya sendiri.
Tak ada lagi yang mengharul biru mengusik dan mengatur saya.
Mau emana dan ngapain kek, itu terserah say Saya asyik dengan kebebasan saya.
membuat saya khilaf seketika.
Habis, sa sebel ya Tiba-tiba kepala saya nyut-nyut ketika melihat tampang horor itu.
Mungkin acara teler saya semalem masih ada pengaruhnya.
Kamu kenapa Ver? Sakit? Ayo sini, kayaknya kamu telat makan ya?" Saya nggak sempat menolak saat tangan kekar itu menuntun saya menuju kantin.
Lalu ia memesan makanan untuk saya.
Sikap dinginnya tadi sekarang berganti dengan perhatian yang tiba-tiba.
Saya saja sempat kaget begitu cepatnya ia berubah.
Dengan suara lembut namun mengandung perintah ia menyuruh saya makan.
Dengan membisu saya menurut saja.
Emang lapar juga.
Sepanjang saya menyuap itu kerjanya cuma menatap saya saja.
Sampai saya jadi mual ditatap terus-terusan.
Buru buru saya memasukan suapan terakhir lalu minum.
Saat saya merogoh rokok dari tas dan akan menyulutnya secepat kilat tangannya menyambar rokok saya.
Ehh, apa-apaan nih?" bentak saya peduli.
tak Irfan malah dengan santainya mengeramus rokok itu dan membuangnya sembarangan setelah jadi lumat.
Membuat darah di otak saya tersiksa.
Saya sadar saya makin mem- perburuk apa yang sudah buruk.
Saya sedang merusak diri saya sendiri.
Kadang saya capek menjalaninya.
Tapi sampai sekarang saya tak tahu apa saya mesti tertawa atau menangais dengan segala kebadungan saya yang over dosisi.
t*x Ver nama saya lengkap-lengkap itu, yang suaranya bass dan serem itu, saya hafal betul si pemiliknya.
la Irfan, kakak tingkat saya yang sok galak hanya karena prestasinya yang cemerlang dan asisten dosen itu.
ayanti" panggilan yang menyebut Saya sebal dengan tingkahya yang sok killer.
Masih saya ingat saat saya terlambat masuk kemarin, padahal hari itu ada test.
Tidak seperti yang saya dapat kemarin kemarin.
Ah, rasanya saya mulai lelah juga dengan segala duka yang saya selimuti sendiri.
Saya ingin mengakhiri elegi inl endiri saya yang terlalu terlena untuk sekian lamar Mudah-mudahan saia, Seluruh doa saya betulkah irfan mau menemani langkah sen pinta.
Seiring dengan pelukan Irfan yang memberi rasa lain yang damai dan n vaman Sudah lama saya merhatiin kami sayang kamu Ver!" bisiknya.
Lama-lama saya jadi stress karena d Ruang gerak saya yang biasanya bebas terasa sesak dan menyebalkan.
Saya na biasa.
Saya muak dengan perhatian yang tal jelas juntrungnya itu.
Apa sih maksudnya dia? Dia pikir saya akan terharu dengan kepeduliannya itu? Nonsens! Sudah lama saya mati rasa dengan segala bentuk perhatian.
Setelah… setelah orang tua saya melupakan dan membuang saya.
Mencoret saya dari daftar nama anggota keluarganya Membiarkan saya mencari kehidupan sendiri setelah kehidupan yang ia tawarkan saya tolak mentah-mentah.
Ya, saya menolak perjodohan konyol itu dan kabur untuk menggapai obsesi saya.
Itu sudah lama sekali terjadi.
Sudah empat tahun yang lalu, saat saya baru keluar dari SMU.
Padahal kehidupan Papa mapan tapi hanya karena urusan bisnis ia tega menugumpankan saya demi untuk melancarkan jalinan bisnis dengan kolegenya.
Bentuk egoisme orang tua yang merasa berhak atas kehidupan anaknya rikuh sendiri.
Mungkin acara teler saya semalem masih ada pengaruhnya
Sejak itu saya biasa dengan kehidupan saya sendiri.Menjalankannya suka-suka aya sendiri.
Tak ada lagi yang mengharul biru mengusik dan mengatur saya.
Mau emana dan ngapain kek, itu terserah say Saya asyik dengan kebebasan saya.
membuat saya khilaf seketika.
Habis, sa sebel ya Tiba-tiba kepala saya nyut-nyut ketika melihat tampang horor itu.
Mungkin acara teler saya semalem masih ada pengaruhnya.
Kamu kenapa Ver? Sakit? Ayo sini, kayaknya kamu telat makan ya?" Saya nggak sempat menolak saat tangan kekar itu menuntun saya menuju kantin.
Lalu ia memesan makanan untuk saya.
Sikap dinginnya tadi sekarang berganti dengan perhatian yang tiba-tiba.
Saya saja sempat kaget begitu cepatnya ia berubah.
Dengan suara lembut namun mengandung perintah ia menyuruh saya makan.
Dengan membisu saya menurut saja.
Emang lapar juga.
Sepanjang saya menyuap itu kerjanya cuma menatap saya saja.
Sampai saya jadi mual ditatap terus-terusan.
Buru buru saya memasukan suapan terakhir lalu minum.
Saat saya merogoh rokok dari tas dan akan menyulutnya secepat kilat tangannya menyambar rokok saya.
Ehh, apa-apaan nih?" bentak saya pedul
Saya kontan kaget dan melotot ke arahnya.Ehh, apa-apaan nih?" bentak saya peduli.
tak Irfan malah dengan santainya mengeramus rokok itu dan membuangnya sembarangan setelah jadi lumat.
Membuat darah di otak saya tersiksa.
Saya sadar saya makin mem- perburuk apa yang sudah buruk.
Saya sedang merusak diri saya sendiri.
Kadang saya capek menjalaninya.
Tapi sampai sekarang saya tak tahu apa saya mesti tertawa atau menangais dengan segala kebadungan saya yang over dosisi.
t*x Ver nama saya lengkap-lengkap itu, yang suaranya bass dan serem itu, saya hafal betul si pemiliknya.
la Irfan, kakak tingkat saya yang sok galak hanya karena prestasinya yang cemerlang dan asisten dosen itu.
ayanti" panggilan yang menyebut Saya sebal dengan tingkahya yang sok killer.
Masih saya ingat saat saya terlambat masuk kemarin, padahal hari itu ada test.
Comments
Post a Comment